Sabtu, 16 Oktober 2010

Proses desain kriya kayu

Disain, merupakan suatu proses yang dapat dikatakan seumur dengan keberadaan manusia di dunia. Hal ini, seringkali tidak kita disadari. Akibatnya, sebagian dari kita berpendapat seakan-akan disain baru dikenal sejak masa modem, dan merupakan bagian dari kehidupan modern. Selain itu, ada juga kerancuan pendapat yang berkait dengan siapa yang lebih berhak atas suatu proses disain. Banyak disainer mengatakan bahwa proses disain, sesuai dengan sebutannya, merupakan milik dari profesi disainer. Sebaliknya, para enjiner berpendapat demikian pula. Bagian ini, menjelaskan berbagai bahasan yang berkait dengan proses disain dan para pelakunya.

a. Manusia sebagai makhluk berakal
Manusia dikaruniai kemampuan sebagai makhluk hidup yang mempunyai akal. Sejak manusia Nadir di muka bumi, kemampuan akalnya terus berkembang. Kemampuan akal inilah yang memungkinkan manusia sebagai makhluk hidup dapat bertahan, berkembang, memperbaiki tingkat kehidupannya, dan bahkan memperbaiki lingkung kehidupannya. Sejak awal keberadaannya, manusia selalu berusaha untuk melengkapi dan memperbaiki pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berbagai kebutuhan hidupnya itu, pada dasarnya dibagi menjadi :
1. Kebutuhan hidup yang bersifat utama dan sangat penting; disebut kebutuhan primer. Kebutuhan hidup yang dimasukkan ke dalam kategori ini, bersifat sama sekali tidak dapat ditinggalkan, dan mutlak harus dipenuhi; karena berkait langsung dengan mati-hidupnya manusia.  Jika kebutuhan hidup ini tidak dipenuhi, maka manusia tidak akan dapat mempertahankan hidupnya dan manusia akan mati. Bahkan, jika dalam skala yang lebih besar,
dapat berakibat manusia punah. Karenanya, dalam kehidupan manusia, kebutuhan hidup yang bersifat utama ini mempunyai prioritas tertinggi dan bersifat mutlak harus dipenuhi. Misalnya : pemenuhan kebutuhan makan dan minum.
2. Kebutuhan hidup yang bersifat tidak utama; disebut kebutuhan sekunder. Kebutuhan hidup yang termasuk ke dalam kategori ini, bersifat tidak berpengaruh secara langsung kepada mati-hidupnya manusia. Meskipun kebutuhan ini dapat dikatakan penting, tetapi jika kebutuhan hidup ini tidak dipenuhi, manusia masih dapat mempertahankan hidupnya, dan belum tentu akan mati (belum tentu akan punah). Karenanya, dalam kehidupan manusia, kebutuhan hidup yang bersifat tidak utama ini mempunyai prioritas sedang; dan bersifat tidak selalu mutlak harus dipenuhi. Misalnya : pemenuhan kebutuhan yang berkait dengan tempat tinggal, alas kaki, pelindung tubuh, pakaian, kemeja, senjata.
3. Kebutuhan hidup yang bersifat pelengkap hidup dan kesenangan; disebut kebutuhan tersier. Kebutuhan hidup yang termasuk ke dalam kategori ini, bersifat sama sekali tidak berpengaruh apapun terhadap hidup atau mati manusia. Jika kebutuhan hidup ini tidak dipenuhi, tidak ada pengaruhnya terhadap hidup atau matinya manusia. Karenanya, dalam kehidupan manusia, kebutuhan hidup yang bersifat pelengkap hidup ini mempunyai prioritas terendah. Misalnya pemenuhan kebutuhan yang berkait dengan keindahan, tartan, musik, kesenian, permainan. Manusia sebagai makhluk yang berakal, pada tahap awalnya, selalu mengutamakan pemenuhan kebutuhan yang lebih mengarah kepada kebutuhan utama (primer). Tetapi pada tahap-tahap selanjutnya, sesuai dengan perkembangan jaman, teknologi, dan ilmu pengetahuan, serta tingkat kehidupannya; manusia lalu. berusaha melengkapi kebutuhan hidupnya dengan berbagai kebutuhan lainnya yang bersifat tidak penting (sekunder). Bahkan, akhirnya juga banyak memenuhi berbagai kebutuhan yang sama sekali tidak penting, yakni berbagai kebutuhan yang sebenarnya termasuk ke dalam kategori pelengkap kehidupan dan kesenangan semata. Semua ini, sesuai dengan sifat manusia itu sendiri, yang karena kemampuannya untuk menggunakan akalnya, manusia selalu berusaha untuk hidup dengan cara-cara yang lebih baik (dan juga lebih nyaman) dari sebelumnya. Adanya kemampuan akal, telah membuat manusia mampun berbuat lebih banyak dari waktuwaktu sebelumnya; yaitu memikirkan, merencanakan, dan membuat berbagai macam alat bantu yang sangat berguna bagi pemenuhan kebutuhan dan kesenangan hidup manusia.
Selama sejarah kehidupan manusia, telah dibuat berbagai macam alat, barang, dan benda pakai yang berkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, yaitu kebutuhan hidup yang bersifat utama (kebutuhan primer), kebutuhan hidup yang bersifat tidak utama (kebutuhan sekunder), serta kebutuhan hidup yang sama sekali tidak penting dan hanya untuk memenuhi berbagai kesenangan saja (kebutuhan tersier). Semua itu, pada dasarnya dilakukan manusia dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup manusia, memudahkan berbagai kegiatan manusia, dan menyenangkan hidup manusia. Seluruh proses ini, yaitu sejak dimulai dengan memikirkan (sejak masih berupa gagas), kemudian direncanakan, dianalisis, dihitung, ditentukan, dicoba, dan akhimya dibuat; merupakan gabungan antara “proses perencanaan” (design process) dengan “proses pembuatan” (manufacturing process).
Dengan demikian, proses perencanaan dan proses pembuatan suatu produk tertentu adalah suatu proses yang dapat dikatakan relatif panjang dan tidak dapat dikatakan sebagai suatu proses yang sederhana. Kenyataannya, sering kita tercengang dan tidak menyangka, bahwa suatu barang atau benda yang terlihat relatif sederhana bentuknya; yang dalam kehidupan kita sehari-hari pada masa sekarang kita gunakan sebagai kelengkapan hidup yang kurang penting perannya; jika kita telusuri cara dan proses pembuatannya, termasuk sejarahnya; temyata mempunyai proses yang sangat panjang, berbelit-belit, serta menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk membuatnya. Contoh bendapakai sederhana yang dimaksudkan ini, misalnya : kancing baju, pinsil, jarum, kertas, kartu telepon, sikat gigi, botol, ball point, kancing tank (retsluiting), dan sebagainya. Jika dicermati lebih teliti, benda-benda tersebut meskipun sangat sederhana, seringkali melibatkan berbagai jenis teknologi (bahkan mungkin menggunakan teknologi paling mutakhir) untuk bisa mewujutkannya.
Karena adanya berbagai proses yang diperlukan untuk muwujudkan sebuah benda/produk, maka setiap barang, produk, atau benda buatan manusia, umumnya selalu mempunyai “sejarah” (yang kemudian lebih dikenal sebagai “sejarah disain” dari suatu produk) yang berbeda-beda. Dan bentuk, hasil, dan sejarahnya, sebuah barang atau benda buatan manusia dapat ditelusuri kembali, bagaimana barang atau benda tersebut dibuat. Bahkan berdasar analisis menggunakan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, akhirnya dapat juga diketahui berbagai sifat dan lingkung manusia yang membuat barang atau benda tersebut. Pada penyelidikan dan penggalian lokasi-lokasi (situs) prasejarah; penemuan berbagai bentuk barang dan benda buatan manusia, dapat digunakan untuk menentukan tinggi-rendahnya tingkat kebudayaan, serta tinggirendah tingkat penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
b. Manusia, dan disain
Pada jaman dahulu kala, memang belum dikenal adanya istilah “disain”. Tetapi, proses disain itu sendiri, sebenarnya sudah ada sejak jaman purbakala. Yaitu, sejak manusia mulai berusaha membuat berbagai peralatan untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Usaha untuk membuat berbagai peralatan itu, secara umum merupakan bagian dari “kebudayaan manusia”. Dari berbagai telaah, juga dapat dibuktikan bahwa tinggi-rendahnya tingkat kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu, juga menentukan tinggi-rendahnya tingkat kemampuan untuk melakukan proses disain secara keseluruhan. Karena tinggirendahnya tingkat kebudayaan manusia didasarkan kepada kemampuan manusia untuk belajar, maka faktor pendidikan juga merupakan suatu faktor yang sangat penting. Adanya kemampuan akal pada manusia, membuat manusia secara sadar atau tidak sadar, selalu “belajar” dan menambah khazanah pengetahuannya. Segala sesuatu yang harus dipelajari lebih dahulu oleh manusia untuk dapat dilakukan, lazim disebut “kebudayaan” (culture). Sedangkan peri laku manusia itu sendiri, akhimya merupakan suatu bentuk “budaya”.
Dalam perkembangan selanjutnya, secara umum manusia akhirnya juga mengenal adanya dua sifat budaya, yakni “budaya yang bersifat relatif baik” (budaya baik) dan “budaya yang bersifat relatif buruk” (budaya buruk). Perbedaan sifat di antara kedua macam bentuk budaya itu, sebenarnya sangat relatif. Pada suatu kelompok masyarakat tertentu, “budaya baik”, mungkin dapat berarti suatu “budaya buruk” bagi kelompok masyarakat lainnya. Demikian pula, sebaliknya. Tetapi, tentu saja tidak tertutup adanya kemungkinan bentuk budaya yang sifatnya sama dan berlaku secara universal bagi beberapa kelompok masyarakat. Pemahaman akan hal ini, merupakan salah satu hal yang sangat penting, dan pada saatnya nanti (yakni pada saat perencana melaksanakan proses disain), harus menjadi salah satu perhatian utama perencana. Pada bahasan selanjutnya, akan dijelaskan mengapa hal ini menjadi sangat penting.
Perkembangan tata kehidupan, letak geografis, adat-istiadat, tradisi, aturan, tata krama, hukum, kekerabatan, dan pranata yang hidup di dalam lingkung suatu kelompok masyarakat tertentu, seringkali menghasilkan suatu bentuk “budaya baik” dan “budaya buruk” yang sangat berbeda dan berlawanan dengan kelompok masyarakat lainnya. Bagi suatu kelompok masyarakat tertentu, “budaya baik” dan “budaya buruk” yang hidup di dalam kalangannya, dapat sangat bertentangan (berlawanan) dengan kelompok masyarakat lainnya. Seringkali, hal ini sedemikian berlawanan, sehingga jika kedua kelompok masyarakat itu dipersatukan atau dipertemukan, dapat menimbulkan gesekan (friksi) dan pertentangan yang hebat. Dengan demikian, budaya baik dan budaya buruk, dapat dikatakan menjadi bersifat sangat relatif. Hal ini, sangat penting untuk dipahami, karena dalam pembuatan dan penyampaian suatu produk tertentu, bagi suatu kelompok masyarakat tertentu, mungkin tidak menimbulkan masalah apaapa. Tetapi bagi kelompok masyarakat lainnya, mungkin produk tersebut merupakan hal yang ditabukan dan tidak dapat diterima. Sehingga dengan demikian, produk tersebut hanya dapat diterima pada suatu kelompok masyarakat tertentu saja.
Kebudayaan manusia yang kita kenal sekarang, merupakan suatu hasil dari perkembangan kebudayaan manusia selama berjuta juta tahun, yang berkembang secara perlahan-lahan dengan cars evolusi. Terjadinya berbagai perbedaan itu, lazimnya diakibatkan oleh adanya perbedaan bahasa, lokasi, geografi, cara berpikir, cara memandang, serta tinggi-rendahnya tingkat penguasaan teknologi, ilmu pengetahuan, dan erat-renggangnya tingkat hubungan sosial antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya.
c. Pengertian disain
Sejauh ini, kita belum membahas apa sebenamya yang dimaksud dengan “disain”. Istilah “disain” atau “desain” dalam ejaan bahasa Indonesia, berasal dari kata “design” dalam bahasa Inggris. Istilah disain, secara umum dapat berarti : potongan, model, moda, bentuk atau pola; konstruksi, rencana, mempunyai maksud, merencanakan; baik, bagus, atau indah bentuknya.
Istilah “disain”, dalam ejaan bahasa Indonesia, merupakan suatu istilah yang dituliskan berdasar bunyi pengucapan (pelafalan) kata “design ” dalam bahasa Inggris. Suku-kata “de” pada kata “design” dalam bahasa Inggris, umumnya diucapkan seperti mengucapkan sukukata Vi ” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan suku-kata “sign” pada kata “design” dalam bahasa Inggris, umumnya diucapkan (dilafalkan) seperti mengucapkan suku-kata “sain” dalam bahasa Indonesia. Karenanya, istilah “design” dalam bahasa Inggris, kemudian dituliskan menjadi “disain ” dalam ejaan bahasa Indonesia, sesuai dengan bunyi pelafalannya.
Istilah “desain” dalam ejaan bahasa Indonesia, kelihatannya juga merupakan suatu istilah yang dituliskan berdasar bunyi pengucapan (pelafalan) kata “design” dalam bahasa Inggris, tetapi dengan sedikit perbedaan pada bunyi pengucapan (pelafalan) suku-kata “de” pada kata “design” dalam bahasa Inggris, yang dilafalkan dengan penekanan lebih banyak ke arah bunyi “e”, dari pada bunyi “i”. Karenanya, kemudian penulisannya dalam ejaan bahasa Indonesia, menjadi “desain”. Bagaimanapun juga, kedua istilah ini, yaitu istilah “disain” atau istilah “desain”, bermakna sama. Dalam buku ini, arti kedua istilah ini tidak dibedakan. Untuk selanjutnya, dalam buku ini digunakan istilah “disain”, dengan pengertian yang setara dengan “desain”. Kata “mendisain” atau “mendesain”, mempunyai pengertian yang secara umum setara dengan merancang, merencana, merancangbangun, atau mereka-yasa; yang artinya setara dengan istilah “to design” atau “designing” dalam bahasa Inggris. Istilah “mendisain” atau “mendesain”, mempunyai makna melakukan kegiatan (aktivitas, proses) untuk menghasilkan suatu “disain”.
Selain istilah “disain” atau “desain”, juga dikenal istilah “rencana “, “rancangan “, “rancangbangun “, dan “reka yasa ” dengan pengertian yang dapat dikatakan sama, setara, atau setidaktidaknya mendekati kesamaan. Beberapa di antara istilah-istilah ini, seringkali digunakan secara khas dalam bidang-bidang tertentu. Dalam hal ini, kegiatannya kemudian disebut dengan istilah “merencana”, “merancang”, “merancang-bangun”, dan “mereka-yasa”. Dalam bahasa Inggris juga dikenal adanya istilah “plan”, “to plan” dan “planning”; yang maknanya secara umum dapat dikatakan setara dengan istilah “design”, “to design”, dan “designing”; tetapi dalam pengertian yang lebih luas dan mencakup lebih banyak aspek. Dalam buku ini, untuk menghindarkan kerancuan makna, selanjutnya istilah “plan” dalam ejaan bahasa Inggris, dituliskan “plan” dalam ejaan bahasa Indonesia.
Jika dicermati lebih teliti, maka segera terasa bahwa terdapat semacam kesamaan makna antara istilah disain dan istilah plan. Kedua istilah tersebut, bermakna setara dengan rencana (hasil dari suatu proses merencana), rancangan (hasil dari proses merancang), reka yasa (hasil dari proses mereka-yasa), atau rancang-bangun (hasil dari proses merancang-bangun). Istilahistilah ini, semuanya menunjuk kepada “hasil dari suatu proses”, atau menunjuk kepada “sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses tertentu”. Meskipun demikian, kenyataannya dalam penggunaannya, terdapat perbedaan. Istilah “disain”, lebih banyak digunakan untuk menunjukkan suatu rencana atau hasil proses perencanaan yang bersifat mikro (kecil, khusus, sempit, khas, detail, rinci). Misalnya : rencana jembatan (bridge design), rencana jalan (road design), rencana rumah (house design), rencana interior (interior design), rencana produk (product design), rencana barang industri (industrial design), rencana kendaraan (automotive design), dan sebagainya. Sedangkan istilah “plan”, lebih banyak digunakan untuk menunjukkan suatu rencana atau hasil proses perencanaan yang bersifat makro (luas, umum, global, menyeluruh). Misalnya : rencana strategis (strategic plan), rencana utama (master plan), -rencana manajemen (management plan), rencana perusahaan (corporate plan), rencana proyek (project plan), rencana kota (city plan), dan sebagainya.
Dengan berpegang pada penjelasan di atas, maka lazimnya, sebuah plan (rencana makro, rencana global, rencana menyeluruh) dapat mencakup atau dapat disusun atas sejumlah disain (rencana mikro, rencana detail). Artinya, disain (rencana mikro) bisa merupakan bagian dari sebuah plan (rencana makro); tetapi bukan sebaliknya. Meskipun demikian, disain (rencana mikro) dapat juga bersifat berdiri sendiri, dan tidak berkait dengan sebuah plan (rencana makro) tertentu. Kegiatan (proses) yang dilaksanakan untuk menghasilkan suatu “rencana mikro” atau “disain”, lazim disebut “mendisain”. Dalam  bahasa Inggris, disebut “designing”. Sedangkan kegiatan (proses) yang dilaksanakan untuk menghasilkan suatu “rencana makro” atau “plan”, lazim disebut “memplan”. Dalam bahasa Inggris disebut “planning”. Kedua istilah ini, yaitu disain dan plan, juga banyak digunakan untuk menyebut berbagai jenis “rencana” yang sifatnya abstrak, tak nyata, atau tak terlihat mata; misalnya gagas (ide), konsep, strategi, atau pemikiran. Kedua istilah tersebut, yaitu “mendisain” atau “memplan”, dalam bahasa Indonesia umumnya (dengan tidak mempermasalahkan perbedaan yang terdapat di antara keduanya) dapat digantikan dengan satu istilah saja, yaitu “merencana”.
Istilah “mendisain”, lebih banyak digunakan untuk menunjukkan kegiatan/proses pelaksanaan pembuatan suatu rencana yang bersifat mikro (kecil, sempit, khas, detail, rinci). Misalnya mendisain jembatan (bridge designing), mendisain jalan (road designing), mendisain rumah (house designing), mendisain interior (interior designing), mendisain produk (product designing), mendisain barang industri (industrial designing), mendisain kendaraan (automotive designing), dan sebagainya. Sedangkan istilah “memplan”, lebih banyak digunakan untuk menunjukkan kegiatan/proses pelaksanaan pembuatan suatu rencana yang bersifat makro (luas, umum, global, menyeluruh). Misalnya : memplan strategi (strategic planning), memplan manajemen (management planning), memplan perusahaan (corporate planning), memplan proyek (project planning), dan sebagainya. Kedua istilah ini, yakni “mendisain” dan “memplan”, secara umum juga dapat digantikan dengan istilah “merencana” atau “merencanakan”.
Istilah “rancang-bangun”, meskipun maknanya setara dengan disain, tetapi dalam penggunaannya, umumnya lebih banyak dipakai di bidang konstruksi, bangunan, pekerjaan teknik sipil. Kegiatan “merancang-bangun” dapat dikatakan setara dengan “mendisain”. Istilah “reka-yasa”, meskipun maknanya setara dengan disain, tetapi dalam penggunaannya, umumnya lebih banyak dipakai di bidang enjinering (teknik). Kegiatan “merekayasa”, juga dapat dikatakan setara dengan “mendisain”. Istilah “rancangan”, meskipun juga setara dengan disain, tetapi dalam penggunaannya, umumnya lebih banyak dipakai di bidang pakaian atau textil. Kegiatan “merancang”, dapat dikatakan setara dengan “mendisain”. Dengan contoh penggunaan di atas, jelaslah bahwa sebenarnya di antara beberapa istilah tersebut tidak terdapat perbedaan makna, kecuali dalam penggunaannya saja.
Pengertian disain itu sendiri, sampai sekarang masih diperdebatkan orang. Hal ini, disebabkan banyaknya penjelasan para pakar tentang arti istilah disain, yang masing-masing disesuaikan dengan cara pandang yang berbeda. Kurun jaman yang berbeda, ternyata juga menimbulkan penafsiran makna istilah disain yang berbeda-beda. Beberapa pakar yang memberikan defisi istilah disain itu, misalnya Gregory. la, mendefinisikan disain sebagai : “Relating product with situation to give satisfaction“,’ yang lebih mengutamakan hubungan antara benda (barang) dengan suatu keadaan atau kondisi tertentu; dengan tujuan memberikan suatu kepuasan bagi pengguna barang (benda, produk) tersebut.
Sedangkan menurut Fielden : “Engineering design is the use of scientific principles, technical information and imagination in the definition of mechanical structure, machine or system to perform prespecified function with maximum economy and efficiency.”" Jika ditinjau, pernyataan Fielden ini lebih bersifat sempit, spesifik, dan kaku; karena hanya menyangkutkan pengertian disain dengan dunia teknik (enjinering) dalam kaitannya dengan segi ekonomi dan efisiensi. Sedangkan kenyataannya, disain sangat berkait erat dan dapat merambah berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bisa sangat berbeda dan relatif sangat luas. Dalam hal ini, enjinering hanya merupakan salah satu bagian dari mata-rantai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang mendukung proses disain. Meskipun demikian, memang dapat dikatakan bahwa peran enjinering terasa semakin penting dalam suatu proses disain. Hal ini, terutama semakin terasa pada masa sekarang (setelah masa terjadinya revolusi industri di Eropa), yakni setelah memasuki abad keduapuluh, menjelang abad keduapuluhsatu.
Perubahan pengertian disain juga dapat ditemukan pada pernyataan Anthony Bertram, dalam bukunya yang berjudul “Design“, yaitu sebagai berikut : `By 1588 the word `design’ has meaning `Purpose, aim, intention’ : by 1657 the meaning `The thing aimed at.’ In 1938 it has gained the composite meaning of aim plus thing aimed at. It has come to stand for a though the plan and manufacture to the finished object. Plato, seorang akhli falsafah terkenal dari Yunani kuno, dalam bukunya yang berjudul “Republic”, menyatakan : “… Are not exellent, beauty and correctness of every manufactured articles, or living creature, or action, to be tried only by reference to the purpose intended in their construction, or in their natural constitution 10 Kalau kita telaah, maka pernyataan Plato itu banyak dikaitkan dengan prinsip pembuatan barang (benda); yang banyak dihubungkan dengan masalah keindahan dan keserasian. Ini wajar, karena pada jaman itu, faktor keindahan, seni (art), dan keserasian, merupakan bagian penting dari proses disain (proses pembuatan benda-benda pakai). Pada jaman itu (jaman Yunani kuno), pembuatan benda-benda pakai, juga tidak dapat dilepaskan dari seni (terutama seni lukis, seni patting, dan seni ukir). Sehingga di antara keduanya, yaitu antara disain dan seni, terjadi hubungan yang sangat erat.
Dari beberapa pernyataan di atas, jelaslah bahwa sejak masa yang lalu, dari waktu ke waktu, telah terjadi pergeseran penafsiran pengertian istilah disain. Adanya berbagai pergeseran penafsiran dan pengertian disain itu, pada dasarnya disebabkan oleh pasang-surutnya perkembangan dan kemajuan kebudayaan, teknologi, dan ilmu pengetahuan yang dialami manusia. Berbagai perubahan dan perkembangan itu, juga menyebabkan terjadinya perubahan cara pandang. Pada awal perkembangannya, pengertian disain juga sering dicampur-adukkan dengan berbagai bentuk seni (art). Ini dapat dilihat pada masa-masa sebelum jaman revolusi industri di Eropa. Pada masa itu, seorang seniman (artist), juga sering berperan sebagai seorang perencana (disainer). Sedangkan pada masamasa selanjutnya, terutama setelah revolusi industri di Eropa, mulai terjadi pemisahan antara disain (design) dengan seni (art).
Semakin lama, pemisahan ini menjadi semakin jelas dan tegas. Akhirnya, pada masa sekarang, setelah memasuki abad keduapuluh, pemisahan antara disain (design) dengan seni (art), menjadi sangat jelas dan tegas; bahkan merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Sejauh ini, kita telah disibukkan dengan berbagai pernyataan yang berkait dengan pengertian disain. Masing-masing pernyataan itu, seringkali saling berlainan. Hal ini harus dipandang sebagai suatu
kewajaran, karena manusia itu sendiri juga berubah sesuai dengan perubahan kebudayaan yang dialaminya. Perlu juga disimak, adanya pepatah yang menyatakan bahwa “A life without design, in this sense is an animal life, the life of instinct and accident.”" Pepatah ini, dapat dianggap sebagai sebuah pepatah yang sangat bermakna bagi para perencana (disainer, enjiner); karena dengan sebuah kalimat yang singkat, kita sebenarnya dapat memahami, azas utama (hakekat) dari sebuah proses disain dalam anti yang sesungguhnya. Selain itu, pepatah ini juga memberikan pengertian yang dalam, tentang betapa pentingnya peran disain dalam kehidupan manusia.
d. Disainer, enjiner, dan ilmuwan
Disain dan proses disain, jika ditinjau umur dan sejarahnya, dapat dikatakan seumur dengan panjang sejarah keberadaan manusia di dunia. Secara langsung atau tidak langsung, dan secara disadari atau tidak disadari; kenyataannya disain sangat berperan dalam kehidupan manusia. Peran disain (dan proses disain), merambah berbagai kegiatan dalam kehidupan manusia. Segala proses berpikir, menganalisis, menghitung, menentukan, mencoba, yang bertujuan akhir membuat suatu “benda”, baik yang, berupa bends nyata yang bersifat “satmata” (dapat dilihat, diraba), maupun benda tak nyata yang bersifat “kasatmata” (tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba); dengan tidak membedakan apakah sederhana atau rumit; semuanya dapat disebut sebagai suatu proses disain. Dengan demikian, jika diperluas, maka proses disain adalah suatu proses yang dilakukan untuk “merencanakan pembuatan suatu hal”.
Proses disain, dalam kaitannya dengan pembuatan suatu benda, – perannya adalah menganalisis, menghitung, memperkirakan, menentukan, memutuskan, menggambarkan, dan menyatakannya secara obyektif dan sistematis; suatu gagas (idea), cara, rencana, atau sistem yang akan digunakan untuk “membuat suatu benda” (benda nyata atau benda tidak nyata). Dengan demikian, benda (produk, barang) yang direncanakan tersebut, akhimya dapat dibuat dan dapat digunakan oleh manusia secara aman, nyaman, mempunyai sifat, bentuk, dan dampak yang positif (setidaktidaknya terhadap penggunanya), serta berfungsi sesuai dengan yang dikehendaki. Karena merupakan benda yang akan digunakan (dipakai) oleh manusia, maka faktor hubungan (relasi) antara manusia dan benda yang direncanakan itu (benda yang akan dibuat), dalam proses disain merupakan faktor yang sangat penting.
Proses perencanaan untuk membuat suatu benda yang mempunyai fungsi tertentu (yang dalam hal ini disebut “proses disain”), dapat dilakukan dengan berbagai cara (metoda, sistem) dan pendekatan yang berbeda, serta dilaksanakan oleh berbagai pelaku proses disain yang berbeda pula. Dalam hal ini, para pelaku proses disain dan pembuat produk (barang), pada jaman dahulu, lebih banyak diperankan oleh para seniman (artist).” Hal inilah yang membuat beberapa definisi disain pada masa lalu, selalu dikaitkan dengan berbagai bentuk seni (art) tertentu. Tetapi pada masa sekarang (pada jaman modern), setelah memasuki abad keduapuluh, sesuai dengan perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi; pelaku proses disain dan pembuat produk tidak lagi diperankan oleh satu kalangan yang sama, melainkan diperankan oleh berbagai kalangan yang berbeda. Masing-masing kalangan itu, mempunyai sifat,keakhlian, dan spesialisasi tertentu; dengan latar ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbeda pula.
Sehingga dengan demikian untuk membuat sebuah produk (terutama produk yang rumit), diperlukan perencana-perencana yang berasal dari berbagai kalangan yang berbeda. Sedangkan proses pelaksanaannya, lebih bersifat antar disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pelaku proses disain, para pembuat rencana, serta para pembuat produk pada masa sekarang, jikalau diperluas dapat meliputi berbagai kalangan yang sangat beragam, dengan lingkung yang sangat beragam pula. Misalnya : para exekutif, manajer, pimpinan, ilmuwan, enjiner, seniman, disainer, tukang, dan perajin. Tetapi dalam bidang-bidang yang sifatnya lebih sempit cakupannya (lebih spesifik), yakni perencanaan dan pembuatan suatu produk, lazimnya diperankan oleh para ilmuwan, enjiner, disainer, seniman, teknisi, perajin, dan bahkan tukang.
Ilmuwan, yang pada awal perkembangan kebudayaan manusia juga berperan dalam proses disain, akhirnya mempunyai peran yang sangat khas. Yaitu, berperan melakukan berbagai penelitian dan penyelidikan dalam rangka pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta lebih memusatkan perhatiannya pada berbagai hal yang sifatnya sebagai pendukung kegiatan para disainer dan enjiner. Dengan demikian, ilmuwan juga berperan sebagai mitra-kerja yang utama bagi para disainer dan enjiner. Penemuan, pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi barn oleh para ilmuwan ini, sangat berpengaruh kepada proses disain dan proses produksi yang dilaksanakan oleh pare disainer dan enjiner.
Seniman, tidak dapat kita masukkan ke dalam kategori pelaku proses disain. Hal ini, disebabkan jenis kegiatan yang dilaksanakan oleh pare seniman, lebih mengarah kepada suatu proses yang lebih bersifat individual (pribadi), lebih menekankan karyanya pada segi seni (art), dan seringkali bersifat subyektif serta tidak mengarah kepada pembuatan suatu produk (benda) yang dibuat berulang kali dan dalam jumlah yang besar (repeated and mass production). Karya seorang seniman, kebanyakan merupakan suatu hasil kerja yang bersifat individual dan tidakberorientasi kepada pembuatan secara berulang. Kebanyakankara seniman, juga tidak ditujukan untuk digunakan oleh orang lain. Tetapi seorang seniman dapat juga berperan sebagai disainer, jika ia bekerja menggunakan kaidah-kaidah disain. Perajin, tukang dan teknisi, juga tidak dapat kita masukkan ke dalam kategori pelaku proses disain. Hal ini, disebabkan kegiatan perajin dan tukang, lebih banyak berperan pada segi teknis, pelaksanaan, dan pembuatan semata; meskipun perajin dan tukang dapat juga berorientasi untuk membuat benda (produk) dengan pola berulang dan dalam jumlah besar. (repeated and mass production). Selain itu, perajin, tukang, atau teknisi lazimnya juga tidak begitu berperan dalam proses disain secara intensif.
Misalnya, pada kegiatan pemikiran kreatif, gagas, dan konsep. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi pare perajin, tukang, atau teknisi untuk berperan sebagai pelaku proses disain, jika is bekerja dengan menggunakan kaidah-kaidah disain. Dan uraian di atas, jelaslah bahwa peran disainer dan enjiner pada masa sekarang, bersifat lebih dominan dalam pelaksanaan proses disain. Hal ini, disebabkan dalam proses disain sangat diperlukan berbagai dukungan teknologi, ilmu pengetahuan, kemampuan, keterampilan, analisis, penentuan dan pembuatan keputusan, kreatifitas, inovasi; yang bersifat obyektif (bukan subyektif). Dalam dunia perencanaan, akhirnya dikenal adanya pemisahan secara tegas dalam tugas, peran, tanggung jawab, dan wewenang di antara disainer, enjiner, dan ilmuwan. Secara umum, perbedaan tugas, peran, dan wewenang masing-masing adalah sebagai berikut Disainer Berperan menganalisis, meneliti, menghitung,memperkirakan, menentukan, merencanakan, dan membuat benda (produk) berdasar azas pemenuhan berbagai fungsi hubungan (relasi) yang selaras antara benda (produk) yang direncanakannya dengan manusia sebagai penggunanya.
Dalam bahasa masa sekarang, hal ini seringkali disebut dengan istilah “hubungan antara manusia dengan mesin” (man to machine relation). Selain itu, is juga harus mempertimbangkan dan memperkirakan berbagai hal yang berkait dengan dampak keberadaan benda (produk) tersebut secara fisik dan psikologis terhadap pengguna dan lingkung sekitarnya. Enjiner Berperan menganalisis, meneliti, menghitung, memperkirakan, menentukan, merencanakan, dan membuat benda (produk) berdasar azas pemenuhan berbagai fungsi teknis dari benda yang direncanakannya; sesuai dengan berbagai persyaratan teknis (spesifikasi) yang telah ditentukan, sasaran, dan unjuk-kerja (performance) teknis yang dikehendaki. Selain itu, ia juga harus mempertimbangkan dan memperkirakan berbagai hal yang berkait dengan dampak keberadaan benda (produk) tersebut secara teknis terhadap pengguna dan lingkung sekitarnya. Dalam bahasa masa sekarang, hal ini seringkali disebut dengan istilah “hubungan antara mesin dengan mesin”(machine to machine relation).
Ilmuwan Berperan menganalisis, meneliti, menghitung, memperkirakan, menentukan, merencanakan, dan memberikan berbagai masukan (input) merupa pertimbangan, solusi, bagi para disainer dan enjiner; sesuai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya. Dalam bahasa masa sekarang, hal ini seringkali disebut dengan istilah “hubungan antara manusia dengan ilmu pengetahuan” (man to knowledge relation). Demikianlah, berbagai contoh keakhlian yang pada masa sekarang ini semakin dikembangkan orang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian cepat, akhirnya juga menghendaki adanya pemilahan dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, melalui suatu jenjang pendidikan tertentu, seorang ilmuwan, enjiner, atau disainer secara bertahap, dapat menjadi seorang akhli, pakar, atau “spesialis” (specialist) dalam suatu bidang tertentu. Ini sangat berlawanan dengan pola dan sistem pendidikan jaman dahulu, khususnya sebelum abad keduapuluh, yang lebih cenderung kepada dihasilkannya sarjana atau ilmuwan yang mempunyai keakhlian yang bersifat luas, umum, tidak begitu dalam, dan cenderung mencakup beberapa cabang disiplin ilmu pengetahuan sekaligus; yang lebih lazim disebut “generalis” (generalist). Tetapi keadaan ini tidak dapat dipertahankan terus-menerus. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sedemikian cepatnya, sehingga tidak memungkinkan lagi bagi seseorang untuk mempelajari, menguasai, dan mendalami berbagai hal sekaligus.
e. Perencana yang bekerja sendiri atau berkelompok
Seperti telah diuraikan, peran dan kemampuan perencana untuk bisa menghasil produk yang baik, sangat dipengaruhi oleh tinggirendahnya tingkat pendidikan, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan wawasan. Selain itu, tentu saja dipengaruhi juga oleh tinggirendahnya tingkat kerumitan produk yang direncanakan hendak dibuat. Secara umum, cara kerja perencana dapat dikategorikan sebagai berikut
a. Perencana yang bekerja secara mandiri dan tidak mempunyai kelompok kerja tertentu (freelance designer).
b. Perencana yang bekerja secara berkelompok bersamasama orang lain, yang mempunyai bidang keakhlian yang sama.
c. Perencana yang berkerja berkelompok bersama-sama orang lain, yang mempunyai bidang keakhlian berlainan (tidak sama).
Pada perencanaan untuk membuat suatu produk yang relatif sederhana, seluruh kegiatan perencanaan mungkin dapat dilakukan oleh seorang perencana. Dalam hal ini, bahkan tugas dan peran enjiner sering pula “dirangkap”. Tetapi hal ini hanya dapat dilaksanakan pada berbagai jenis produk yang relatif amat sangat sederhana. Dalam kasus sebuah produk direncanakan (atau mungkin juga dibuat) oleh seorang perencana, maka karya disain tersebut memang dapat dikatakan sebagai hasil karya seseorang (basil karya satu orang). Disebabkan tingkat penguasaan manusia atas suatu keakhlian, teknologi, ilmu pengetahuan, wawasan, dan pengalaman bersifat amat sangat terbatas, maka pada jenis jenis produk tertentu yang sangat rumit, proses perencanaannya tidak dapat dilaksanakan oleh satu orang perencana saja. Dalam hal ini, diperlukan kerja-sama antar pakar (akhli, spesialis) dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda-beda untuk melakukan seluruh proses perencanaan.
Kenyataannya, banyak produk yang hanya dapat dibuat berdasar proses perencanaan yang dilakukan dengan cara bekerja-sama antar pakar (akhli, spesialis) yang berasal dari berbagai dis iplin ilmu pengetahuan yang berda-beda. Para perencana yang berasal dari berbagai disiplin ilmu ini, bergabung dalam suatu kelompok kerja atau regu kerja (team work). Jika pola seperti ini yang diterapkan, maka produk yang dihasilkan tidaklah dapat dipandang sebagai hasil kerja seorang perencana saja; melainkan harus dipandang sebagai hasil kerja (hasil karya) sekelompok perencana yang tergabung dalam suatu regu kerja (team work). Setiap orang dalam regu kerja itu, mempunyai peran dan sumbangan masing-masing. Peran dan sumbangan setiap orang dalam regu kerja tersebut, tidaklah dapat dikatakan sama (tidak setara). Setiap anggauta regu kerja tersebut, berperan dan menyumbangkan berbagai bahan pemikiran dan alternatif pemechhan masalah sesuai dengan keakhlian masing-masing dalam proses perencanaan. Tetapi yang pasti, semuanya bekerja untuk mencapai sasaran akhir (target) yang sama, yaitu dihasilkannya suatu produk tertentu, seperti yang dikehendaki; berdasar suatu konsep, ide (gagas), dan fungsi tertentu; yang telah disepakati sebelumnya.
f. Perencanaan produk
Sejauh ini, sudah diuraikan berbagai hal yang berkait dengan perencanaan secara umum. Tetapi, karena buku ini bertujuan memberikan gambaran yang berkait dengan perencanaan produk (product design) yang dimasukkan ke dalam kategori perencanaan yang bersifat mikro, maka untuk selanjutnya pembahasan akan dibatasi pada segala sesuatu yang berkait  dengan proses disain (proses perencanaan) dalam pembuatan suatu produk. Pengertian disain produk (product design), adalah suatu proses perencanaan (proses disain) yang dilakukan oleh “perencana produk” (product designer), untuk membuat suatu produk (barang); yang digunakan untuk memenuhi fungsi kebutuhan hidup manusia. Dalam hal ini, pembahasan dilepaskan dari berbagai spesialisasi tertentu yang menyangkut proses perencanaan untuk membuat suatu produk. tertentu; misalnya : perencana mebel (furniture designer), perencana kendaraan (automotive designer) dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, yang dimaksud dengan “perencana” (designer) dalam buku ini, untuk selanjutnya adalah perencana yang melakukan proses perencanaan (proses disain) dalam rangka pembuatan suatu produk secara umum; yakni yang lebih dikenal dengan istilah “perencana produk” atau “disainer produk” (product designer); kecuali jika dinyatakan lain.
Dalam dunia perencanaan suatu produk, dikenal adanya dua istilah perencana (disainer), yaitu “perencana produk” (product designer) dan “perencana barang industri” (industrial designer). Pada dasamya, kedua jenis perencana ini berperan melaksanakan proses perencanaan (proses disain) dalam rangka pembuatan suatu produk tertentu. Perbedaan mendasar yang terjadi di antara keduanya, pada dasamya hanya terletak kepada cara, sistem, atau pendekatan yang digunakan untuk merealisasikan pembuatan produknya. Perencana produk Perencana/disainer produk (product designer) bekerja melaksanakan suatu proses perencanaan (proses disain) dalam rangka pembuatan suatu produk tertentu, dengan lingkup kerja yang lebih luas dan menggunakan metoda serta pendekatan yang belum tentu bersifat industri; melainkan bisa menggunakan berbagai jenis pendekatan yang berbeda. Perencana barang industri Perencana disainer barang industri (industrial designer) bekerja melaksanakan suatu proses perencanaan (proses disain) dalam rangka pembuatan suatu produk tertentu, dengan lingkup kerja yang lebih sempit, spesifik (khas), dan menggunakan metoda serta pendekatan yang bersifat industri (industrial approach). Dalam hal ini, yang dimaksud pendekatan industri, adalah sistem pembuatan produk secara masal.
Disebabkan pembahasan dalam buku ini tidak dibatasi oleh metoda dan pendekatan industri (industrial approach) tertentu, maka untuk keduanya, digunakan satu istilah saja, yaitu “perencana” (designer) yang berlaku secara umum. Dengan demikian, tidak perlu dipersoalkan perbedaan yang ada di antara kedua istilah tersebut (yaitu istilah “perencana produk” dan “perencana barang industri”). Istilah perencana (disainer) yang digunakan dalam buku ini, juga tidak membedakan perencana yang berasal dari berbagai kalangan yang berbeda. Misalnya : perencana yang berasal dari kalangan enjiner, ilmuwan, disainer, seniman, teknisi, tukang, perajin, atau bahkan orang biasa. Ini didasarkan kenyataan bahwa mereka ini, dapat juga bertindak dan berperan sebagai perencana (disainer), jika dalam pelaksanaan kegiatannya menggunakan kaidah-kaidah disain. Meskipun demikian, umumnya untuk menjadi seorang perencana (designer) dan untuk bisa melaksanakan fungsinya, seseorang harus mengikuti tahap dan jenjang pendidikan yang bersifat khusus selama bertahun-lahun
g. Menjadi seorang perencana produk
Secara singkat, seorang perencana, khususnya perencana produk haruslah menguasai sejumlah hal, sebagai berikut
a. Mempunyai bakat (talent), ini merupakan salah satu syarat yang bisa dikatakan terpenting. Tanpa adanya bakat, sangatlah diragukan bahwa seseorang bisa menjadiseorang perencana produk yang baik.
b. Menguasai sistem/cara untuk menyatakan gagas, konsep, atau rencana, dengan baik, jelas, dan sistematis dalam bentuk bahasa gambar (drawing). Untuk ini, is harus menguasai berbagai teknik gambar, terutama menggunakan media dua dimensi; misalnya menyatakan rencananya dalam bentuk gambar di atas selembar kertas. Atau, menggunakan media lainnya, misainya menggunakan komputer. Persyaratan ini, bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar.
c. Menguasai sistem/cara untuk menyatakan gagas, konsep, atau rencana, dengan baik dan jelas dalam bentuk bahasa tulis (text). Untuk ini, is harus menguasai dengan baik cara mendeskripsikan, cara mengkomunikasi menggunakan bahasa tulis, menguasai bahasa tertentu, menguasai tata bahasa, cars menulis, dan sistematika menulis.
d. Menguasai sistem/cara untuk menyatakan gagas, konsep, atau rencana, dalam bentuk bahasa lisan (verbal). Untuk ini, is harus menguasai berbagai cara untuk mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada orang lain dengan cara berbicara (talking).
e. Menguasai sejumlah pengetahuan (knowledge) dan cara (knowhow), yang diperlukan untuk melaksanakan proses perencanaan. Tanpa penguasaan atas pengetahuan minimal yang diperlukan, maka sangatlah disangsikan bahwa seorang perencana.produk bisa bekerja dengan baik untuk menghasilkan suatu rencana (disain) yang baik pula.
f. Bekerja secara sistematis, ilmiah, dan bermetoda. Tanpa ketiga hal ini, sangatlah disangsikan bahwa seorang  perencana produk bisa menghasilkan suatu rencana (disain) yang baik. Termasuk ke dalam hal ini, adalah bekerja menggunakan berbagai kaidah disain dan melakukan berbagai percobaan (experiment) untuk menguji berbagai gagas yang hendak diungkapkannya.
g. Bisa menyatakan gagas, konsep, atau rencananya dalam bentuk bahasa tiga dimensi, untuk mempermudah pemahaman orang lain atas hasil kerjanya. Hal ini, misalnya bisa dilakukan dengan cara membuat model, mok-ap, atau prototipe. Berbagai persyaratan tersebut di atas, pada dasarnya bersifat mengikat dan mutlak harus dipenuhi oleh seorang perencana produk. Sedangkan persyaratan lainnya, bolehlah dikatakan sebagai persyaratan tambahan yang bersifat tidak mengikat dan tidak mutlak harus dipenuhi. Jika seseorang tidak memenuhi salah satu persyaratan di atas, maka besar kemungkinan is akan mengalami banyak kesulitan dalam merealisasikan berbagai gagasnya menjadi sebuah benda atau produk tertentu.
h. Bidang kerja perencana produk
Pada masa sekarang, dikenal adanya berbagai jenis bidang kerja (spesialisasi) bagi para perencana produk dan perencana barang industri. Di bawah ini, dicontohkan berbagai bidang kerja yang mungkin digeluti oleh seorang perencana produk, misalnya
a. Disain mebel (furniture design). Ini merupakan bidang perencanaan yang meliputi berbagai barang, produk, atau peralatan kelengkapan mebel (furniture). Misalnya : kursi, meja, lemari, tempat tidur, dan sebagainya. Secara umum, bidang ini  biasanya menangani berbagai -kelengkapan rumah tangga, kantor, gedung, atau bangunan, yang diletakkan di dalam ruang (in door).
b. Disain barang industri (industrial goods design). Ini merupakan bidang perencanaan yang meliputi berbagai barang, produk, atau peralatan kelengkapan industri dan pabrik. Misalnya :
traktor, buldozer, katrol, peralatan tambang, peralatan pertanian, peralatan perkebunan, perlaatan kehutanan, peralatan geologi, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bidang kerja seorang perencana produk, pada dasarnya sangat terbuka luas. Bahkan pada masa sekarang, pembagian bidang kerja ini ada kecenderungan menjadi semakin sempit dan semakin spesifik (khas); sehingga menjadi semakin banyak (semakin luas) pilihannya.
i. Proses perencanaan dan pembuatan produk
Pembuatan suatu produk tertentu, apapun jenisnya, dengan tidak memandang apakah produk tersebut sederhana atau rumit, besar atau kecil, canggih atau tidak canggih, berdiri sendiri atau merupakan kelompok, merupakan suatu serf produk atau tidak; pada dasarnya selalu melalui dua rangkaian proses; yaitu rangkaian proses perencanaan (proses disain) dan rangkaian proses pembuatan (proses produksi). Kedua proses ini, berlangsung sejak produk tersebut belum ada (belum direalisasikan), sampai produk tersebut menjadi kenyataan (direalisasikan). Untuk dapat merealisasikan keberadaan suatu produk, diperlukan dukungan berbagai unsur disain, yang berfungsi mendukung berlangsungnya proses perencanaan dan proses pembuatan;
yaitu :
a. Adanya masalah (problem), yang digunakan sebagai pemicu awal dimulainya proses perencanaan (proses disain); ini merupakan bagian terpenting dari awal proses disain. Secara umum, tanpa adanya masalah lebih dahulu, perencana tidaklah dapat bekerja. Masalah, bisa mempunyai “sumber” (source) atau “asal” (originate) yang berbedabeda.
b. Adanya gagas (idea) dan jalan ke luar (solution, way out), yang digunakan sebagai dasar awal bagi pemecahan/penyelesaian suatu masalah (problem solving) yang dihadapi. Ini merupakan bagian terpenting dari sistem untuk menghasilkan jalan ke luar (way out, solution) bagi sejumlah masalah yang dihadapi perencana. Gagas (idea), bisa dikemukakan dalam bentuk lisan, tulis, gambar, sketsa, model, dan sebagainya.
c. Adanya dukungan berbentuk data dan fakta (fact), yang berkait erat dengan berbagai aspek disain; yang nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan proses analisis atas berbagai aspek/faktor disain, guna membuat berbagai keputusan yang diperlukan dalam pelaksanaan proses perencanaan (proses disain).
d. Adanya dukungan berbentuk proses analisis, yang dilaksanakan dengan cara mengurai, meneliti, melacak, memperhitungkan, memperkirakan, dan/atau mengamati secara sistematis, ilmiah, dan bermetoda, atas berbagai masalah, gagas, serta aspek disain; yang hasilnya akan digunakan untuk membuat berbagai keputusan, membuat konsep, dan menentukan berbagai pilihan yang diperlukan dalam proses disain.
e. Adanya konsep disain (design concept), yang akan digunakan sebagai pegangan, patokan, atau acuan (term of reference, TOR) oleh perencana selama proses perencanaan (proses disain) dilaksanakan, dan oleh pelaksana selama proses pembuatan (proses produksi) dilaksanakan; yang disusun atas sejumlah kesimpulan yang dihasilkan dari proses analisis atas berbagai aspek disain.
f. Adanya proses perencanaan atau proses disain (design process), yang merupakan suatu proses untuk merealisasikan gagas (idea) menjadi suatu “rencana produk” (rencana pembuatan suatu produk) yang bersifat realistis dan masuk akal, yang didasarkan atas suatu konsep disain tertentu; dalam rangka pencarian penyelesaian (problem solving) bagi satu atau sejumlah masalah tertentu.
g. Adanya proses produksi (production process) atau proses pabrikasi (fabrication process, manufacturing process), yang digunakan untuk merealisasikan suatu “rencana produk”, sehingga menjadi produk yang berwujud nyata, seperti yang telah direncanakan lebih dahulu.
Unsur-unsur inilah yang menjadi menjadi pendukung pelaksanaan proses perencanaan dan pelaksanaan proses produksi, yang pada dasarnya merupakan gabungan dua proses yang akan membuat suatu produk menjadi dapat diwujudkan (direalisasikan)keberadaannya.
Unsur-unsur tersebut di atas, merupakan unsur-unsur yang sifatnya mutlak harus ada dalam setiap proses pembuatan suatu produk. Para perencana, baik secara sadar atau secara tidak sadar, selalu menggunakan unsur-unsur tersebut di atas. Mungkin ada suatu proses yang tidak terlihat secara nyata oleh orang lain; karena proses tersebut tidak dinyatakan dalam bentuk tulis, gambar, sketsa, diskusi, atau tidak dinyatakan secara visual atau verbal kepada orang lain oleh perencananya. Tetapi bagaimanapun juga, setiap perencana selalu menggunakan unsur-unsur tersebut. Masalah (problem), merupakan awal dari seluruh proses perencanaan (proses disain) dan bersifat sebagai pemicu bagiberlangsungnya sebuah proses perencanaan (proses disain). Tanpa adanya suatu masalah tertentu, perencana tidak dapat (dan tidak perlu) berbuat apa-apa, karena tidak ada yang harus dikerjakan (tidak ada yang harus diselesaikan).24 Dengan demikian, adanya suatu masalah, merupakan suatu hal yang mutlak harus ada lebihdahulu. Dalam sejumlah kasus, masalah sering terlihat seakan-akan seperti tidak ada (no problem). Karenanya, masalah harus digali, diangkat, dipahami, dan kemudian dinyatakan; sehingga menjadi jelas keberadaan dan kebenarannya. Hal ini, sering merupakan kesulitan tersendiri. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut, bahkan seringkali diperlukan kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang bersifat khan.”
Gagas (idea), merupakan suatu pemikiran awal yang pada dasarnya berisi cara atau metoda pemecahan suatu masalah. Untuk mencari atau ‘menemukan suatu gagas (idea), diperlukan masalah lebih dahulu (yang akan dicarikan pemecahannya). Tanpa adanya suatu masalah tertentu, tidak akan ada gagas (idea) yang diperlukan. Gagas juga merupakan awal dari seluruh proses disain dalam arti yang nyata. Kemampuan untuk dapat menghasilkan berbagai gagas (idea) yang akan digunakan dan dikembangkan untuk menyelesaikan suatu masalah (atau beberapa masalah sekaligus), merupakan salah satu kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh seorang perencana. Dukungan berbagai jenis data dan fakta, berperan sebagai bahan yang akan digunakan untuk melakukan analisis dan pembuatan keputusan dalam seluruh proses disain. Data-data yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung, akan sangat menentukan apakah proses disain yang dilaksanakan tersebut lengkap atau tidak. Artinya, baik-buruknya dukungan, jenis, mutu, validitas, dan jumlah data; secara langsung akan sangat berpengaruh kepada baik buruknya mutu proses disain yang dilaksanakan. Jika mutu proses perencanaan (proses disain) rendah (buruk), maka umumnya akan dihasilkan suatu produk yang bermutu rendah pula.
Demikian pula sebaliknya. Berbagai data yang diperlukan oleh para perencana, seringkali harus dicari dan tidak tersedia begitu saja. Karenanya, kemampuan untuk menggali, mengumpulkan, menganalisis, mengolah, merangkum, dan menyimpulkan berbagai jenis data dan fakta, merupakan salah satu kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh seorang perencana (disainer). Proses analisis (analisys process), merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pelaksanaan proses disain. Berbagai keputusan, pertimbangan, dan konsep; sebagian besar didasarkan atas hasil kesimpulan atas berbagai analisis. Disebabkan tingkat kepentingannya itu, maka adalah mutlak bahwa seorang perencana harus mempunyai kemampuan untuk melakukan proses analisis secara sistematis, obyektif, dan rasional. Proses analisis, umumnya merupakan bagian yang sulit bagi para perencana, karena berdasar berbagai hal yang dihasilkan oleh proses ini, sejumlah keputusan disain (design decission) yang penting harus dibuat. Artinya, kemampuan seorang perencana dalam berpikir, mengolah, dan memutuskan suatu hal, diuji dalam pelaksanaan proses ini.
Konsep disain (design concept), merupakan pegangan atau acuan yang digunakan oleh perencana sebagai “patokan” atau “acuan” (term of reference, TOR) dalam pembuatan berbagai keputusan yang dilakukan selama pelaksanaan seluruh proses disain. Didukung oleh berbagai masalah (problem), gagas (idea), pemikiran, serta analisis atas berbagai aspek/faktor; konsep disain berperan sebagai “nyawa dari sebuah disain” (the spirit of design). Dalam konsep disain, berbagai pemikiran, gagas, kemampuan, wawasan, seorang perencana dicurahkan, untuk menyatakan suatu konsep. Karenanya, kemampuan seorang perencana untuk dapat menyusun, menyatakan, dan menyampaikan suatu konsep disain secara baik dan sistematis, merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan mutlak harus dimiliki.

http://gurumuda.com/bse/proses-desain-kriya-kayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar